(Matrikulasi) Membangun peradaban dari rumah ~ Revisi NHW#3


Alhamdulillah tak terasa, kelas matrikulasi IIP batch 6 sudah memasuki pekan ketiga yang artinya adalah kami semua peserta dihadapkan pada NHW#3. Kita akan membahas tentang apa di NHW kali ini? Yaitu terkait "Membangun peradaban dari rumah". Sebelum lebih lanjut kita ngobrol tentang apa dan bagaimanan cara membangun sebuah peradaban, ada baiknya kita pahami terlebih dahulu makna atau arti dari kata "peradaban". Kata Om Wikipedia, "Peradaban adalah sebuah upaya manusia untuk memakmurkan dirinya dan kehidupannya". Sebuah peradaban pasti tidak akan dilepaskan dari tiga faktor yang menjadi tonggak berdirinya sebuah peradaban yaitu sistem pemerintahan, sistem ekonomi, dan IPTEK. Itu kan defisini bagi peradaban sebuah negeri, lalu apakah akan sama dengan peradaban di sebuah rumah? Menurut aku, dapat kita lakukan analogi yang sama. Kita beranjak terlebih dahulu pada tonggak yang mendasari terciptanya sebuah peradaban, rumah dilihat dari sudut pandang sistem pemerintahan, sistem ekonomi dan IPTEK.

Rumah bisa kita jadikan sistem pemerintahan terkecil, di dalam sebuah rumah juga diperlukan adanya sistem ekonomi yang sehat dan IPTEK sebagai pendukung dalam pengembangan sebuah peradaban. Kalo sebuah negeri ada pemimpin negeri, maka rumah pun punya pemimpin. Siapakah? Dalam sebuah keluarga yang sudah menikah pastinya pemimpin pemerintahan rumah adalah Suami kemudian dia mempunyai wakil yaitu Istri. Lalu siapa masyarakatnya? tentunya anak-anaknya. Negeri yang damai akan menciptakan peradaban yang baik, tentunya sebuah rumah akan dapat menciptakan peradaban yang baik apabila pemimpin mempunyai hubungan yang harmonis. Suami dan Istri selaku partner dalam menjalankan pemerintahan di rumah harus selalu harmonis, damai, rukun, mawaddah dan warrahmah. Caranya gimana? Nah ini dia...caranya adalah selalu memupuk rasa cinta diantara keduanya, jangan sampai ada rasa bosan (naudzubillah min dzalik). Suami dan Istri harus saling komunikasi dan saling mencintai...setiap hari?...idealnya siy begitu hehehehe.

Jatuh cinta lagi dengan partner hidup 
Pernah gak kita sebagai istri menyatakan cinta ke suami? ....aku siy suka, hanya suamiku yang tak romantis ini yang hampir gak pernah karena baginya yang penting itu bukan kata-kata namun sikap dan bukti berupa perbuatan (owwwwhhhh...meleleh deh). Demi NHW ini aku pun mencoba menulis surat cinta untuknya..walo sebenarnya aku tuh selalu jatuh cinta pada suami setiap hari. Surat cinta untuk suami ku sudah kutulis beberapa hari setelah ulang tahun pernikahan kami yang ke-12 yang jatuh di tanggal 12 Agustus 2018 kemarin.

Bagaimana tanggapan/respon beliau?...hmmm...sudah bisa kutebak siy..pasti lempeng su-lempeng aja hehehehe tapi aku yakin, kalo aku ada di dekatnya pasti aku akan dipeluk/dicium (percaya diri banget deh ah.......wajib itu hahahahaha). Daaaaann...inilah responnya....


Setelah kondisi kedua pemimpin stabil, maka kita juga harus melihat kondisi masyarakatnya yaitu anak-anak.

Potensi yang ada pada diri anak-anak
Duo fajar junior kami ini selisih usianya 6 tahun. Walo jauh selisihnya yang namanya berdebatan ada aja terjadi. Suatu saat mereka akan saling tertawa, bercanda, bermain bersama, berpelukan hingga rebutan buat meluk ibunya...namun...bisa langsung berubah pukul-pukulan, berantem dan saling menangis..dan pada akhirnya mereka akan tertawa bersama kembali. Si kecil saat ini sudah mulai bisa protes kalo ditegur oleh ku...dia akan bilang "ibu gak boleh marah-marah". Ibu tuh gak marah, cuma volume suaranya kebesaran (pembelaan). Kedua bocah kecil ini memiliki perpaduan antara aku dan suami pun keluargaku dan keluarga suami. Aku agak kesulitan mengamati potensi yang ada diri mereka, namun yang harus mengetahui pertama kali potensi seorang anak adalah orang tuanya. Aku melihatnya dari aktifitas yang mayoritas mereka lakukan sehari-hari. Kak Iya yang sekarang menuju usia 11 tahun ini mayoritas ketertarikannya di bidang seni (musik dan tari) dan tidak suka aktifitas fisik seperti olahraga. Kata budhenya (kakaknya suami), dia persis pakdenya (kakaknya suami juga) dan ayahnya juga suka mendengarkan musik (karena suami suka berlagak jadi komentator kalo liat kompetisi musik hehehehe). Sedangkan Dek Daanish yang berusia 4 tahun ini lebih anteng dan fokus, kalo ini persis ibunya a.k.a aku (hehehehe).












Aku pun mulai bercermin tuk melihat diri sendiri
Untuk menjadi seorang Ibu Profesional, aku pun harus dapat melihat potensi yang ada pada diri sendiri. Apa yang harus kupersiapkan untuk memantaskan diri menjadi seorang istri dan ibu yang Profesional untuk suami dan anak-anakku? Tak ada rencana Allah SWT yang tidak baik, semua takdirnya pasti baik bagi hamba-Nya. Dan pastinya keberadaan ku berada di tengah-tengah mereka menjadi istri dari Bapak Fajar Yulianto dan ibu dari duo fajar junior pasti ada tujuannya.


Dibilang cerewet siy sebenarnya gak juga (menolak diberi label cerewet hahahaha), namun aku yang pada dasarnya gak banyak omong ini akhirnya diberi label cerewet (alamiah bawaan orok). Dari cerewet inilah aku mempunyai kemampuan komunikasi yang baik sehingga pas kondisinya berpartner dengan Bapak Fajar Yulianto yang tidak banyak omong alias pendiam. Bisa dibayangkan kalo keduanya pendiam, trus bagaimana akan memimpin bahtera berlayar coba? hehehehehe...Nah biasanya pak suami punya ide tapi bingung menterjemahkannya nanti aku yang menggambarkan ide nya kalo sudah sesuai dengan kemauan pak suami baru aku juga yang mengkomunikasikannya. Sebagai seorang yang senang menyusun  konsep, bisa dibilang aku senang belajar. Istilahnya..."lebih senang belajar dibanding bekerja" hahahahaha. Ketika mendampingi duo fajar junior yang sedang memenuhi rasa ingin tahu dan melaksanakan kewajiban nya sebagai siswa, aku pun tidak panik karena mendampingi anak-anak yang belajar tidak akan menjadi terasa berat apabila aku sudah senang dengan belajar. Ada hal-hal penting yang selama ini masih sulit bagi diriku...yaitu aku harus lebih melatih kesabaran dan keistiqomahan. Pak suami yang hobinya pelupa, Kak Iya yang santai, Dek Daanish yang sensitif menjadikan PR bagiku untuk belajar lebih giat dalam memantaskan diri mendampingi mereka dengan membekali ilmu-ilmu yang lebih banyak dan sebagian besar sudah kuperoleh dalam kelas matrikulasi IIP selama 3 pekan ini. Untuk menjaga keistiqomahan, aku sangat terbantu dengan adanya NHW 2 minggu lalu.

Baca juga: Sudah Profesional kah diriku sebagai Perempuan?

Lalu...buat apa aku ditakdirkan berada di lingkungan keluarga besarku dan lingkungan bermasyarakat dimana ku berada saat ini?
Aku dilahirkan di dalam keluarga yang sederhana, keluarga kami hidup cukup. Bapak seorang pensiunan PNS dan  Ibu adalah seorang ibu rumah tangga. Masa kecilku cukup bahagia namun aku masih mempunyai kenangan buruk yaitu di masa kecil aku sering sekali dihadapkan pada pertengkaran bapak dan ibuku terutama masalah keuangan. Hal ini pun sampai sekarang masih menjadi beban dalam kehidupanku. Bu Septi IIP pada materi NHW menyampaikan bahwa apabila seorang ibu belum dapat menyelesaikan masalah terkait Inner Child yang negatif maka dia akan mengalami kesulitan dalam mendidik anak-anaknya. Ini yang membuatku paham bahwa ternyata aku belum bisa berdamai dengan masa kecilku sehingga tanpa kusadari akan memunculkan sisi amarah di dalam diriku ketika aku menghadapi anak-anakku. Anak-anak itu hanya ingin dididik oleh ibu yang bahagia.

Kondisi keluarga yang sering bertengkar masalah keuangan inilah yang mendorong aku untuk merantau, sejak kuliah aku keluar dari kota kelahiranku dan mempunyai tekad bahwa aku ingin bisa membantu kedua orang tua ku dan meringankan beban mereka. Sebuah karakter buruk dari Bapak menjadikan aku belajar untuk menjadi orang yang pandai bersyukur dan tidak sombong. Aku pun berdoa semoga dipertemukan dengan calon suami yang sama derajatnya dan mau berjuang, bukan dari keluarga kaya maupun keluarga miskin. Kenapa demikian? Kalo dari keluarga miskin, aku kasian dengan suami yang akan bertambah bebannya dengan kondisi keluarga aku. Kalo dari keluarga kaya, aku belum siap apabila keluarga tidak diterima oleh keluarga nya. Alhamdulillah, aku pun dipertemukan dengan seorang anak yatim piatu yang sama-sama berjuang seperti aku yaitu suami ku. Aku sering bertanya, apakah kondisi keluarga menjadi beban bagi kehidupannya? Dia menjawab "tidak, justru ini bisa menjadi ladang ibadah dan pahala bagi kita". Bersedekah bagi orang tua dan keluarga terdekat itu lebih utama. Kinipun aku sadar, kalo suamiku yang orang luar saja mau menerima keluarga ku dengan baik, lalu mengapa aku harus menolak takdir ini. Justru aku dan suami lah yang mempunyai kemampuan komunikasi baik ini menjadi jembatan agar kedua orang tua ku tidak lagi bertengkar masalah keuangan. Berdamai dengan masa lalu yang kurang baik akan memberi dampak positif bagi masa depan aku dan keluargaku. Ilmu baru tentang Inner Child, next time pengen nulis tentang Inner Child ini.

Tapi keluargaku juga mengajarkan kepadamu tentang ilmu bermasyarakat. Keluargaku dari kampung dimana masyarakatnya tidak individual, dengan tetangga seperti keluarga saling membantu, saling gotong royong dan saling menjaga. Ingat sekali ketika aku dan suami membeli rumah di kompleks, ibuku berpesan "harus sabar ya dengan tetangga, karena hidup di perumahan itu beda dengan hidup di kampung, semua hal bisa jadi bahan pembicaraan". Mungkin karena ibuku berpikir, kalo tinggal di kampung jarak antar rumah kan tidak berdempetan sehingga masalah masing-masing keluarga gak akan terdengar, sedangkan di perumahan kan antar dinding-dinding nempel sekali, jadi dindingnya bisa tertembus suara masalah dari rumah sebelah. Aku yang dari kecil biasa diajarkan hidup bertetangga yang saling kenal dan akrab, ketika masuk ke perumahan memang sangat terasa sekali rasa individualismenya. Aku bersyukur 2 kali tinggal di komplek yang berbeda selalu punya tetangga perantau. Mungkin karena kami sama-sama jauh dari keluarga, kami lebih merasa dekat. Aku selalu menjadikan tetangga adalah keluarga terdekat kita. Kalo kita sakit, yang akan datang duluan dengan cepat pasti tetangga bukan saudara kita yang Kota Bandung, Solo ataupun Boyolali.

Rasa sosial yang diajarkan oleh orang tua membuat aku selalu mencari kenyamanan dalam  berteman dan bertetangga. Kalo tidak menemukan ya berarti kita coba untuk menciptakan. Di perumahan ku yang lama, aku dan beberapa tetangga mengadakan kegiatan pengajian dan PKK dimana itu adalah wadah bagi kami mengenal dan bersilaturahmi dengan tetangga. Pun ketika aku pindah ke perumahan yang baru, dan kulihat kegiatan spiritualnya tidak berjalan, maka contoh yang baik dari perumahan lama aku bawa kesini. Aku mulai ajak beberapa tetangga untuk mengadakan pengajian dan alhamdulillah setahun sejak aku pindah ke perumahan baru ini mulai dilaksanakan Majelis Tahsin dimana aku ditunjuk sebagai ketua. Kenapa aku? karena aku lah yang memiliki ide dan selalu bawel memberikan semangat kepada ibu-ibu untuk selalu semangat dan istiqomah dalam belajar tahsin. Jumlah peserta yang ikutan pun bertambah dan semua masih antusias mengikuti tahsin dan program ODOL (One Day One Lembar).





Akhirnya...akhir kata. Aku yakin kita dilahirkan di muka bumi ini dengan 1 tujuan yaitu untuk menjadi khalifah di bumi ini, setidaknya menjadi pemimpin bagi diri sendiri yang selalu diingatkan untuk selalu beribadah kepada Allah SWT. Apakah kita akan menjadi agent of change, atau hanya sekedar menjadi follower, atau cukup menjadi silent reader?...Pilihan ada di diri kita. Selain itu, kita pasti bisa menjadi manusia yang bermanfaat bagi keluarga dan masyarakat dengan segala potensi yang kita miliki. Selalu dan tetap semangat menyambut masa depan. Masa lalu bukan untuk dilupakan, namun masa lalu akan selalu menjadi pijakan bagi masa depan. Mulai dengan menyelesaikan diri sendiri.

~34 - Novya Ekawati - NHW#3

Komentar